Rabu, 14 Maret 2012

Aku dan Pandanganku Tentang Wahib

Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib.

Buku ini buku yang menarik. Dari judulnya sudah dapat kita rasakan 'kegalauan' penulis mengenai suatu agama. Agama yang dianutnya dari lahir sampai menghembuskan nafas terakhir. Islam. Suatu agama yang baru, agama samawi yang paling muda bila dibandingkan dengan sepupu-sepupunya yaitu agama Yahudi, Nasrani, dan agama tauhid dari nabi-nabi sebelum Muhammad SAW.

Sebetulnya buku ini bukan murni karangan Wahib. Sebetulnya ini pun bukan buku seperti pada umumnya.Buku ini bukan memoar, bukan pula biografi, buku ini adalah catatan-catatan harian Wahib yang dibukukan oleh sahabatnya, Djohan Effendi.

Bicara Wahib berarti bicara pemuda. Bicara pemuda berarti revolusi dan reformasi. Setidaknya itulah yang saya tangkap dari dunia. Pemuda adalah motor bangsa. Pun demikian dengan Wahib, ia yang pada masanya masih muda, dan meninggal sebagai seorang pemuda, berusaha mencari jati diri dan melakukan pemberontakan terhadap dirinya sendiri. Itu yang saya tangkap dari catatan-catatan beliau. Pada masa penerbitan buku ini, banyak menuai pro dan kontra, karena isinya yang dianggap provokatif. Banyak tulisan beliau yang 'mengganggu' kalangan alim ulama' dan kalangan pemuka agama. 

Ah, rasanya tidak akan sama bila saya yang bercerita, maka lebih baik antum sekalian cari saja ya buku ini. Langsung saja baca dan mungkin suatu hari nanti kita bisa bertukar pikiran tentang Wahib, sang pemuda.

Pandanganku Tentang Wahib: Sosok yang Kukagumi dan Kubenci
Mulai dari sini bukan lagi resensi, tapi murni pemikiranku tentang Wahib. Aku sudah baca buku ini, atas saran seorang temanku yang juga sudah membaca buku ini. Dia bilang buku ini bagus, maka aku pun tertarik untuk membacanya.
Memang benar, buku ini bagus, buku ini mengajak berpikir, dan aku pun jadi sedikit mengenal siapa itu Wahib. Aku kagum padanya, jujur. Ia seorang yang berusaha menjadi mujaddid, seorang pembaru. Seorang yang pemberani dan tegas. Aku setuju dengan Ustadz Abdurahman Wahid yang mengatakan bahwa dia ini seperti tukang batu, yang menghantamkan palunya ke tembok untuk mengetahui apakah tembok itu sudah kuat atau belum. 

Demikian pula Wahib, ia menghantamkan pemikiran-pemikirannya ke tembok imannya untuk menguji apakah imannya itu goyah. Suatu perbuatan yang membuatku kagum, sekaligus benci.

Aku kagum padanya karena ia berusaha menjadi mujaddid, seorang yang memperbarui, ia juga seorang yang penuh semangat. Hal ini seperti dituliskan dalam catatannya yang berjudul Ilham

"Ilham itu harus dicari. Jangan ditunggu dia datang sendiri. Ilham itu harus dikejar, dipersa, diburu, dan dipeluk...dst."

Juga catatan Islamologi, dimana ia berpendapat bahwa islam hendaknya dikaji lebih dalam dan dibuatkan semecam pelajaran, sebutlah mata kuliah atau apalah, yang mempelajari islam lebih dalam, bukan sebagai agama tapi sebagai ilmu. Itu pun aku setuju, dan membuatku kagum padanya.

Tapi ada juga yang membuatku benci padanya. Mungkin bukan benci, tapi lebih ke 'tidak sependapat' padanya. Dalam suatu catatan yang berjudul Kalimat-Kalimat dalam Al Qur'an Berasal dari Siapa dan Qur'an dan Hadits Alat untuk Memahami Sejarah Muhammad.

Jika dia masih hidup dan aku sempat bertemu dengannya, mungkin ia sudah kupukul tepat di muka. Bagiku kedua artikel itu sungguh kurang ajar. Mempertanyakan dan meragukan eksistensi Allah dan kalam-Nya. Dia berpendapat bahwa Qur'an dan Hadits adalah alat untuk memahami sejarah Rasul. 
Padahal jelas bahwa Qur'an dan Hadits adalah pedoman hidup pegangan untuk kita agar tidak tersesat, bukan alat untuk memahami sirrah (sejarah) kehidupan Nabi. 

Pun demikian dengan redaksi Qur'an itu adalah murni kalamullah firman-firman Allah yang turun kepada Nabi melalui perantara Jibril ataupun langsung tanpa perantara. Ia malah berpendapat bahwa Qur'an itu dari kata-katanya dari Nabi sedangkan essensinya benar diturunkan dari Allah. Boleh kubilang lagi aku sangat tidak setuju dengannya.

Demikianlah pemikiranku tentang Wahib. Biarlah, apa yang sudah terjadi tak akan bisa dirubah, itulah Wahib, seorang pemuda yang berani, kendel, nekat, dan segala atribut yang melekat padanya. Toh aku tetap salut padanya karena keberaniannya itu.
Sekali lagi jika aku bertemu dengannya pertama akan kuberikan sebuah pukulan tanganku tepat di mukanya, lalu sebuah pelukan hangat untuknya, untuk seorang mujaddid.

Apabila ada dari pembaca yang kurang setuju denganku tidak apa-apa, toh aku juga pemuda. Sama seperti Wahib. Masih banyak kegalauan yang belum terjawab dalam kehidupanku. :D

Pengunjung yang baik selalu meninggalkan komentar.

5 comments:

  • lallaa says:
    14 Maret 2012 pukul 19.48

    kawan.. menurutku tidak begitu .

    maksud dari quran dan hadits untuk memahami sejarah Muhammad adalah... seharusnya kita berislam melihat konteks kehidupan yang kita jalani.

    al quran turun menjawab persoalan yang ada di zaman nabi muhammad, maka butuh penyesuaian juga hukum-hukum islam yang sekarang, dengan ijtihad. bukan begitu kawan?

    wahib hidup di saat dunia islam begitu campur aduk dan tidak sesuai dengan ajaran yang sebenarnya, hingga dia bertanya-tanya... benarkah kita bisa memahami dunia, menerapkan hukum islam hanya dengan membaca alquran dan hadits?

    aku kadang juga agak ngeri membaca pemikirannya, karena aku belum kuat dan belum siap untuk itu..

  • Bagus D. R. says:
    14 Maret 2012 pukul 20.10

    Seorang muslim memang harus berpikiran radikal. Karena Islam itu sendiri sifatnya adalah radikal. Islam mengubah seluruh cara pandang manusia yang awalnya rasis, etnosentris, materialistis, sekularis, liberalis, dan pragmatis. Menjadi tunduk sepenuhnya hanya pada firman Allah swt.
    Namun apa yang dilakukan wahib adalah memandang Islam sebagai bentuk pandangan ritual pribadi dan menyamakannya dengan agama-agama ritual lainnya yang akhirnya mengembalikan pandangan manusia untuk meragukan eksistensinya sendiri. Kembali mempertanyakan tujuan hidup, hakekat apa sebenarnya dari kehidupan manusia, tuntutan kebebasan hidup yang mutlak dan lain sebagianya yang sebenarnya pemiiran itu sama persis seperti apa yang dipertanyakan oleh filsuf-filsuf yunani. Padahal jawaban dari hal-hal tersebut telah terjawab dalam Islam.
    Wahib sendiri terkait dengan aktifitas pemikiran theosofi.

  • GM-Paksi says:
    14 Maret 2012 pukul 22.19

    @Shahnaz: betul naz, tapi aku rasanya sulit untuk sependapat sama yang satu itu. karena kalau sejarah Nabi Muhammad SAW itu sudah ada medianya memahami, yaitu lewat Sirrah Nabawi. memang Al-Qur'an dan Hadits juga bagian dari Sirrah, tapi menurutku bukan itu fungsi utama Al-Qur'an dan Hadits, tapi sebagai pedoman, seperti yang sudah dipesenkan Nabi pada akhir hayatnya.

    dan benar memang kita nggak bisa dengan hanya membaca Al-Qur'an dan Hadits, tapi harus dengan di implementasikan dan diselaraskan dengan nilai-nilai yang ada sekarang. gitu menurutku.

  • GM-Paksi says:
    14 Maret 2012 pukul 22.21

    @Mas Bagus: Mungkin itu yang menurutku jadi 'daya tarik' Wahib ini mas. karena keberaniannya untuk menyentuh area-area yang menurut sebagian orang tidak boleh dijamah. terlepas dari apakah sebetulnya area-area itu sebetulnya boleh dimasuki atau tidak.

  • Nurul says:
    15 Maret 2012 pukul 09.59

    GIRRIIINNN....

Posting Komentar

Powered By Blogger