Sudah beberapa jam aku duduk di sini, di kursi nomor 24, kafe di sebelah perpustakaan. Aku ingat pertama kita jumpa dahulu, aku duduk di sini sendiri pada hari aku di pecat empat tahun lalu, mencoba mengingat dendam-dendam ku pada bos.
Semua bukan salah ku! Oke, memang beberapa kasus itu ku akui salah ku, tapi apakah rekanku yang lain tidak bersalah? Memangnya mereka malaikat yang selalu suci dari dosa? Kalau ingin menyingkirkan ku kenapa dulu bos terima ketika aku mengemis pekerjaan?
Lalu kau datang. Membawa nampan berisi secangkir kopi dan roti isi selai coklat.
"Ini gratis, aku yang traktir." Katamu, "tunggulah, shiftku sebentar lagi selesai."
Perjumpaan yang indah, tak kusangka Tuhan mengirimkan bahagia lewat tangan-tanganmu. Ya, memang hanya secangkir kopi dan sepotong roti, tapi itu sudah cukup untukku, mengetahui ada yang masih peduli padaku walau kita belum saling kenal.
Kulirik jam yang melingkar di tanganku, pemberian kakekku 15 tahun yang lalu, warisan keluarga katanya. Jam ini turun temurun melingkar di tangan ayah dan kakekku dan kakekknya lagi, entah sudah berapa generasi jam ini berpindah, tapi masih indah. Jarumnya menunjukkan pukul 22.35, tiga puluh menit lagi kafe akan tutup, tapi kau belum datang juga, apa kau lupa dengan janji kita?
Bukankah hari ini hari jadi kita? Hari yang sama ketika aku dipecat, namun hari yang sama pula di mana kita mengikat janji, tiga tahun yang lalu. Kekasihku, benarkah kau sudah lupa? Atau kau sedang bersembunyi di balik pintu masuk? Menunggu aku menyerah dan keluar, lalu kau menyambut ku dengan kecupan manis.
Di seberang meja kulihat Tuan Alfred, bosmu, membersihkan meja. Kulihat jamku lagi, 10 menit lagi kafe tutup. Aku mulai menyerah, mungkin kau sudah lupa dengan hari ini, mungkin kau punya kekasih baru, mungkin kau sudah tidak mau lagi denganku.
Kuseruput sisa kopi manis di cangkirku, rasanya berbeda dengan buatanmu, juga buatanku sendiri. Ini buatan Bertha. Kulirik lagi jam tanganku, 5 menit lagi kafe tutup. Aku bertekad akan tetap menunggumu di sini, sampai Tuan Alfred mengusirku seperti yang pernah terjadi satu bulan lalu. Ia marah-marah dan melempariku dengan apa pun yang dapat diraih tangannya, piring, cangkir, botol-botol kosong. Aku terpaksa lari.
Perlahan Tuan Alfred mendekat, aku bersiap untuk menepis apapun yang dilemparnya.
"Percuma Tuan, aku akan menunggu Maria di sini sampai ia datang." suaraku ku tegas-tegaskan agar ia takut
"Sudahlah Al, lupakan saja Maria, kau punya kehidupan, pulanglah."
Tanpa kuduga dia memegang pundakku dengan lembut, seperti seorang ayah yang menasihati anaknya agar menjadi seorang lelaki dewasa yang pemberani. Tanpa bentakan, maupun lemparan benda-benda seperti yang lalu.
Aku menyerah, aku bangkit perlahan dari kursi ku, lalu berjalan mengambil jaket yang ku gantungkan di sebelah pintu. Hari ini sungguh bersejarah bagiku, hari di mana aku mendapat kembali semangatku tiga tahun lalu, tapi hari ini juga aku kehilangan semangatku. Aku lupa bahwa hari ini dua tahun yang lalu, adalah hari aku kehilanganmu di suatu jalan yang dingin.
0 comments:
Posting Komentar