Sabtu, 18 Januari 2014

Resensi: Mata Kedua

Kategori                 : Fiksi/Novel
ISBN                      : 978-979-29-2098-7
Penulis                   : Ramaditya Adikara
Ukuran / Halaman  : 13x19cm  ⁄ 368 halaman
Edisi ⁄ Cetakan       : I, Pertama
Tahun Terbit           : 2013
Resensi oleh           : GM Paksi

Bagaimana rasanya jika seumur hidup kau divonis Tuhan menjadi seorang tunanetra. Marah kah? Kecewa? Sedih? Mungkin kau akan putus asa dan berteriak pada Tuhan, "Oh God! Why Me?!" Lalu Tuhan akan menjawab, "Why not?"

Ah, menjadi seorang tunanetra bukan halangan bagi Ramaditya Adikara untuk mengukir prestasi. Buku ini mengisahkan perjalanan Ramaditya Adikara, atau Rama~begitu ia dipanggil teman-temannya~dalam mengarungi lika-liku masa SMA.

Rama, yang terlahir tunanetra tidak mau menjadikan kekurangannya ini menjadi pembatasnya. Ia percaya bahwa semua manusia setara dan Tuhan sudah menciptakan semua makhluk-Nya dengan sebaik-baik ciptaan. 
Percayakah kau, ada seorang tunanetra yang jago main game~Mortal Kombat~yang bahkan aku yang bermata ini sulit menamatkannya? Percayakah kau ada seorang tunanetra yang jago karate, bahkan berantem melawan preman-preman yang menghajar temannya? Percayakah kau, ada seorang tunanetra yang melompat ke air menyelamatkan kawannya yang tenggelam? Kau tidak percaya? 
Bacalah buku ini, kau akan percaya bahwa seorang tunanetra juga mampu melakukan apa yang orang biasa bisa lakukan.
Terinspirasi dari kisah nyata Ramaditya Adikara, novel ini akan mampu menginspirasi pembacanya untuk menjadi seorang yang tulus, pribadi yang berkualitas, dan tidak menjadikan kekurangan kita sebagai alasan untuk berhenti berkarya.
Hanya saja ada kekurangan dalam novel ini menurut peresensi. Agak berlebihan rasanya membaca di akhir tulisan tentang seorang anak SMA yang menciptakan robot humanoid. 
Uh... Yea.... Right.... Humanoid. Robot mirip manusia, dikendalikan dengan remote. Uhmm... Ini setting tahun '90an kan? Tapi tak apa lah. Tak ada gading yang tak retak. Toh ini novel. Menurut saya hal-hal kecil semacam itu tidak masalah. Yang jelas pesan yang disampaikan benar-benar sampai kepada pembacanya.

Saya sarankan anda untuk segera mencari buku ini. Oiya, buku ini punya saudara kembar, judulnya 'Hati Kedua' saya masih belum sempat baca, jadi masih belum saya resensi. Maklumlah, kantong mahasiswa kurang dalam. Hahaha.

Nah, demikian resensi dari saya. Selamat menikmati bukunya. :D

-----------0o0-------------

Nah, dari sini sudah terlepas dari resensi 'resmi' tapi masih terkait buku itu. Ini pendapat saya tentang buku ini.
Selama ini saya suka membaca buku novel. Mulai dari novel luar negeri, dalam negeri. Banyak lah. Ada satu hal yang saya suka dari membaca. Ketika saya membaca, saya memikirkan adegan-adegan dalam bacaan itu dan terciptalah sebuah film yang apik yang eksklusif saya nikmati sendiri.
 Ketika saya membaca Guardian of Ga'hoole, saya bisa membayangkan diri saya sebagai Soren, burung hantu yatim piatu yang berpetualang menjadi pahlawan. Saya bisa merasakan udara di sekitarnya, saya bisa merasakan angin yang berhembus, saya bisa melihat bagaimana situasi pohon besar Ga'hoole. Banyak hal lainnya juga. Sama ketika saya membaca novel-novel lain, saya selalu bisa melihat lingkungan di sekitar tokoh utama maupun tokoh-tokoh yang lain.

Tapi novel yang satu ini beda. Yakin. Ketika saya menciptakan film di otak saya tentang Rama, saya tidak bisa melihat. Saya dipaksa menjadi seorang buta! Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kecantikan Rara, bagaimana judesnya Cindy kepada Rama, keluguan Dodo yang suka makan dan yang pasti gendut~seperti saya~ atau kekarnya badan Rhismal yang jago karate. Ah, benar-benar saya tak bisa bayangkan itu.

Saya iri pada sosok Rama, yang bisa mendapat bidadari secantik Rara, yang begitu tulus menyayangi Rama. Atau teman seperti Rhismal yang jago berantem. Well, saya juga punya teman-teman yang baik yang saya bisa banggakan. So i got that goin' for me, which is nice.
Agak melenceng dari topik, saya jadi ingat suatu joke dimana Gus Dur di suatu acara disun (baca: dicium) artis cantik dan yang melihatnya hanya bisa melongo. Gus Dur lalu berkata, "Lha saya kan nggak bisa lihat, sampeyan mbok ya jangan iri."
Tapi untuk kasus ini, saya benar-benar iri pada Rama yang mampu mengubah kekurangannya menjadi dorongan untuk membuatnya berkarya. Kekurangan satu indera tak membuatnya berputus asa. Ah, saya jadi ada dorongan untuk terus berkarya. Tak akan kubiarkan perut gendut ini menghalangi. Kalau Rama saja bisa, kenapa saya tidak?

Btw, beberapa hari yang lalu saya mengirim pesan via FB kepada pengarangnya, Mas Ramaditya Adikara. Saya tak berharap akan langsung dibalas, mengingat beliau orang sibuk mungkin besok atau agak malam sedikit. Tak disangka dua jam kemudian sudah ada pesan masuk dari Mas Rama. Ah, hal-hal kecil seperti ini membuat seorang pengagum sangat berbahagia. :3 Terlebih lagi beliau bilang akan mampir ke website saya ini. Wah, senangnya. 
So, Mas Rama, kalau anda membaca tulisan ini, tinggalkan pesan ya? Kalau buku saya terbit nanti, InsyaAllah akan saya kirimkan sebuah buat Mas Rama. 
Sekian resensi dari saya :D

2 comments:

  • Ramaditya Skywalker says:
    24 Februari 2014 pukul 08.01

    Alhamdulillah saya telah mampir, Mas. Mengenai adanya robot humanoid itu, memang sudah direncanakan sebagai twist agar orang tidak bilang, "Saya udah tau endingnya nih," mengingat di bab akhir tentu sudah habis bahan bakarnya. Selain itu saya pakai setting murid jenius, kira-kira begitu penjelasannya Mas.

  • GM-Paksi says:
    25 Februari 2014 pukul 19.59

    Alhamdulillah, terima kasih kunjungannya mas rama. hehe. :D agak jadi shock terapi juga bacanya akhir-akhir, tapi keren. hehehe ( >_<)

Posting Komentar

Powered By Blogger