Senin, 11 Februari 2013

Bangku Taman

Bersama bintang-bintang, seorang lelaki duduk diam di sebuah kursi panjang di taman.Tenggelam dalam lamunan dan angan-angan. Taman itu cerah, lampu bersinar terang, nampaknya baru saja diganti oleh petugas kebersihan. Sabtu malam, ketika semua orang memiliki waktu luang, taman itu sangat ramai. Seorang anak berlarian ke sana kemari dengan kawannya, tertawa, kadang teriakan-teriakan kecil menghias suasana malam itu. Nampak di sudut taman yang lain sekelompok pemuda dengan gitar dan alat musik ala kadarnya memainkan musik. Menghibur pengunjung taman dan mencari rezeki, bukan untuk makan, hanya untuk minum kopi dan sisanya ditabung untuk kegiatan amal.

Seorang pedagang kaki lima lewat, menawarkan kopi hangat, mi instan, teh, rokok, permen, dan banyak dagangannya yang lain. Ia meminta segelas teh dicampur susu dan semangkok mi instan. Teh susu yang hangat. Sangat menyenangkan bisa menikmati minuman itu. Ini minuman kesukaannya, pikirnya. Angannya tertuju kepada kawan lama yang baru meninggalkannya, pergi, memang, tidak untuk selamanya, tapi cukup untuk membuatnya kesepian belakangan ini. Seteguk demi seteguk ia nikmati teh susu yang hangat itu. Aneh, aku tidak pernah menyukai teh sebelumnya, aku selalu menyukai kopi, dan itu yang membuat kita berbeda bukan? Pikirannya membisikkan percakapan-percakapan itu ke angin. Berharap kawannya di seberang itu mendengar.

Temannya, seorang wanita yang sangat cantik. Seorang pelindung yang mampu meredam emosi. Jika aku pedang, kamu itu sarungnya. Lelaki itu sering berujar kepada temannya. Bayangkan, pedang tanpa sarung, jadi apa dia selain teror? Pernah suatu hari di bulan Maret lelaki itu hendak menghajar seorang tukang parkir yang menjatuhkan sepedanya. Untung lah teman wanitanya itu ada di sana untuk mencegahnya. Belakangan teman wanitanya itu pindah, jarang-jarang ia kembali kotanya. Memang, ia bukan teman yang benar-benar lama dikenal, baru 4 atau 5 tahun belakangan.

Sambil terus memakan mi yang sudah dipesannya, pikirannya melayang menuju kawannya itu. Satu, dua mangkuk habis, ia letakkan di bangku dan beranjak berdiri hendak pulang. Pedagang kaki lima tadi setengah berlari menghampiri lelaki itu dan menagih uangnya, dia lupa membayar. Ia keluarkan dua lembar uang sepuluh ribu dan menyodorkan pada si penjual. Ambil saja kembalinya, katanya pelan, hampir tak terdengar. Lalu ia meneruskan langkah kembali ke rumah.

0 comments:

Posting Komentar

Powered By Blogger