Selasa, 05 Maret 2013

Kisah Tiga Orang

Aku Joni, 27 tahun, broker. Aku tidak percaya pada mimpi-mimpi. Bukankah ia hanya bayangan-bayangan penuh tipu daya? Mana ada coba, orang yang bahagia hanya dengan mimpi-mimpinya. Mimpi itu sama buruknya dengan narkoba. Ekstasi, hash, opium, ganja, apalah itu kau sebutkan sendiri. Membawa jiwa melayang-layang, senang sesaat, lalu ketika kau bangun, yang ada hanya realita harus dihadapi. Sama bukan? Obat - obatan itu juga hanya membawamu senang sesaat. Mimpi juga yang membawaku terbang, tinggi, dalam angan-angan di mana suatu hari nanti kami akan duduk berdua di taman, lalu aku menyerahkan sebuah cincin kepadanya sebagai pengikat hidup kami berdua. Akhir yang bahagia, seperti dalam tiap-tiap dongeng klasik. Lalu, takdir yang membawaku kemari, dengan mengambilnya dariku, di sebuah taman di tengah kota.

Aku Roy, 20 tahun, bukan siapa-siapa. Ya, aku memang bukan siapa-siapa. Untuk apa menjadi "siapa-siapa" di dunia ini, kalau akhirnya hanya untuk dihujat, dijatuhkan, lalu dilupakan. Lebih baik untuk tidak menjadi "siapa-siapa" bukan. Aku bukannya tak punya pekerjaan, hanya saja, pekerjaanku fleksibel. Kapan pun aku bangun tidur, ya aku mulai kerja, ketika lelah, tinggal duduk di dipan lalu istirahat. Tidak ada boss, tidak ada aturan-aturan ribet, kerjanya pun menyenangkan, cukup acungkan pisau, uang datang. Kadang-kadang yang datang jam tangan, cincin, kalung, sesekali anting-anting. Ya, tak apalah, toh kalau ku jual hasilnya juga uang.  Aku ingat beberapa hari lalu di taman Malabar, hutan kota itu, ada orang berduaan. Asyik dan syahdu sekali nampaknya, lumayan sasaran empuk, mumpung dompet lagi kosong. Kuminta uang, mereka bilang tak ada, lalu kuminta perhiasan. Wanitanya hanya memberiku sebuah cincin emas, pelit benar orang-orang ini, kutusuk saja dia biar kapok, lalu aku lari, tertawa puas. Kudengar sayup-sayup orang minta tolong dibelakang.

Aku Monika, 24 tahun,  mahasiswi. Dunia begitu kejam. Bayangkan sudah berapa nyawa diambilnya dalam 24 tahun hidupku ini. Bapak, Ibu, Mas Rudi, terakhir si Lukman. Membuatku menjadi sebatang kara. Satu-satunya pewaris nama keluarga Suseno, keluarga terkaya di kota kecil ini. Tapi kekayaan tak membuatku bahagia. Segala harta benda, tumpukan uang, kilauan cincin berlian, megahnya istana tempatku tinggal, tak mampu menutupi kekosongan dalam jiwa ini. Mungkin cuma dia, calon suamiku, yang mampu sedikit demi sedikit menutupi kekosongan itu. Aku bertemu dengannya dalam sebuah kunjungan di bursa saham tahun lalu ketika aku sedang ada field trip. Perkenalan kami berlanjut, dia tampaknya juga ingin serius denganku. Aku benar-benar cinta mati padanya. Suatu ketika, dia datang menjemputku lalu mengajakku ke sebuah taman, berjalan kaki. Lalu di bangku taman, dia sematkan sebuah cincin emas di jariku, dia bilang itu tabungannya selama bekerja. Cincin itu murah buatku, tapi ketulusannya menggetarkan hatiku. Sayang, aku harus meninggalkannya sepulang dari taman. Seorang preman menodongkan pisaunya kepada kami dalam perjalanan pulang, dia meminta cincin yang tersemat di jariku ini. Dengan berat hati kuserahkan cincin pemberian calon suamiku itu, tak apalah, yang penting kami selamat, pikirku. Tak kuduga preman itu menusuk kan pisaunya tepat di perutku, aku langsung jatuh. Kekasihku berteriak minta tolong, tapi aku tahu itu percuma, perlahan kesadaranku mulai menghilang. Lima menit kemudian kulihat Bapak, Ibu, Mas Rudi, dan Lukman di sampingku, mengajakku pergi ke rumah baru. Aku menoleh ke belakang dan kulihat tubuhku di atas pangkuan kekasihku. Dia menangis.

0 comments:

Posting Komentar

Powered By Blogger