Rabu, 17 Oktober 2012

Reminiscence

Betapa bodoh, ketika dulu seorang pemuda mengejar bulan purnama di ufuk timur. Bukan bodoh mungkin, lebih tepatnya lugu. Lugu dan tidak tahu tentang sakitnya jatuh dari ketinggian. Dia mendapat pelajaran, jangan mencoba terbang jika belum waktunya, karena nanti pasti akan jatuh juga. Benar kan?

"Bagaimana dengan mereka yang sudah terbang? Padahal belum tiba waktunya bagi mereka untuk terbang!" dia berseru.
"Bukankah kau lihat mereka jatuh lagi?"
"Benar, tapi kebanyakan dari mereka terbang lagi. Bukankah ini berarti aku tidak punya semangat?"

Sayang, kenapa engkau tidak melihat bahwa tenaga mereka sudah berkurang. Mereka yang terbang sebelum waktunya, nanti akan kehabisan tenaga jika waktunya tiba bagi mereka untuk terbang. Seolah-olah mereka tahu bahwa apa yang mereka lakukan benar, tapi belum tentu bukan?

"Bukankah mereka selalu tampak segar? Tenaga mereka sepertinya akan tetap ada jika nanti tiba waktunya terbang. Sungguh, aku iri!"

Sayang, penampilan luar tampak sangat menipu, tapi apa yang didalamnyalah yang perlu kau perhatikan. Bahwasanya tenaga-tenaga mereka sudah habis, menggapai bulan purnama semu di ufuk timur. Belum lagi waktunya terbit. Terlalu cepat sepuluh tahun jika kau terbang sekarang. Biarlah mereka terbang sesuka hati, menggapai purnama semu itu. Ada satu yang menantimu jika tiba waktunya. Bukankah purnama semu hanya memberikan pepesan kosong? Jarang sekali yang menawarkan kenyataan.

1 comments:

  • Abi Mustova says:
    6 Desember 2012 pukul 13.51

    wih bahasane rek, ga paham aku, hehe

Posting Komentar

Powered By Blogger